Pulau Weh (atau We) adalah pulau vulkanik kecil yang terletak di barat laut Pulau Sumatra. Pulau ini pernah terhubung dengan Pulau Sumatra, namun kemudian terpisah oleh laut setelah meletusnya gunung berapi terakhir kali pada zaman Pleistosen. Pulau ini terletak di Laut Andaman. Kota terbesar di Pulau Weh, Sabang, adalah kota yang terletak paling barat di Indonesia.
Pulau ini terkenal dengan
ekosistemnya. Pemerintah Indonesia telah menetapkan wilayah sejauh 60 km² dari
tepi pulau baik ke dalam maupun ke luar sebagai suaka alam. Hiu bermulut besar
dapat ditemukan di pantai pulau ini. Selain itu, pulau ini merupakan
satu-satunya habitat katak yang statusnya terancam, Bufo valhallae (genus
Bufo). Terumbu karang di sekitar pulau diketahui sebagai habitat berbagai spesies
ikan.
Geografi
Pulau Weh terletak di Laut
Andaman, tempat 2 kelompok kepulauan, yaitu Kepulauan Nikobar dan Kepulauan
Andaman, tersebar dalam satu garis dari Sumatra sampai lempeng Burma. Laut
Andaman terletak di lempeng tektonik kecil yang aktif. Sistem sesar yang kompleks
dan kepulauan busur vulkanik telah terbentuk di sepanjang laut oleh pergerakan
lempeng tektonik.
Pulau ini terbentang sepanjang 15
kilometer (10 mil) di ujung paling utara dari Sumatra. Pulau ini hanya pulau
kecil dengan luas 156,3 km², tetapi memiliki banyak pegunungan. Puncak
tertinggi pulau ini adalah sebuah gunung berapi fumarolik dengan tinggi 617
meter (2024 kaki).
Letusan terakhir gunung ini diperkirakan
terjadi pada zaman Pleistosen. Sebagai akibat dari letusan ini, sebagian dari
gunung ini hancur, terisi dengan laut dan terbentuklah pulau yang terpisah.
Di kedalaman sembilan meter (29,5
kaki) dekat dari kota Sabang, fumarol bawah laut muncul dari dasar laut. Kerucut
vulkanik dapat ditemui di hutan. Terdapat 3 daerah solfatara: satu terletak 750
meter bagian tenggara dari puncak dan yang lainnya terletak 5 km dan 11,5 km
bagian barat laut dari puncak di pantai barat teluk Lhok Perialakot.
Terdapat empat pulau kecil yang
mengelilingi Pulau Weh: Klah, Rubiah, Seulako, dan Rondo. Di antara keempatnya,
Rubiah terkenal sebagai tempat pariwisata menyelam karena terumbu karangnya.
Rubiah menjadi tempat persinggahan warga Muslim Indonesia yang melaksanakan
haji laut untuk sebelum dan setelah ke Mekkah.
Penduduk
Pulau Weh merupakan bagian dari
provinsi Aceh. Sensus tahun 1993 menunjukan terdapat 24.700 penduduk di pulau
ini. Mayoritas dari populasi tersebut
adalah suku Aceh dan sisanya Minangkabau, Jawa, Batak, dan Tionghoa. Tidak
diketahui kapan pulau ini pertama kali dihuni. Islam adalah agama utama, karena
Aceh adalah provinsi khusus yang menetapkan hukum Syariah. Namun, terdapat
beberapa orang Kristen dan Buddha di pulau ini. Mereka kebanyakan bersuku Jawa,
Batak, dan Tionghoa.
Pada tanggal 26 Desember 2004
gempa bawah laut yang besar (9 skala Richter) terjadi di Laut Andaman. Gempa
ini memicu terjadinya serangkaian tsunami yang menewaskan sedikitnya 130.000
orang di Indonesia. Pengaruh terhadap pulau Weh relatif kecil, tetapi tidak
diketahui berapa banyak penduduk dari pulau itu yang tewas akibat gempa
tersebut.
Ekonomi
Perekonomian Pulau Weh sebagian
besar didominasi oleh agrikultur. Hasil utamanya adalah cengkeh dan kelapa.
Tempat pembiakan ikan berskala kecil berada di wilayah tersebut, dan nelayan
secara besar-besaran menggunakan peledak dan sianida dalam memancing. Oleh
sebab itu, semenjak tahun 1982, suaka alam dibentuk oleh pemerintah Indonesia
yang termasuk 34 km² di daratan dan 26 km² di sekitar lautan.
Dua kota utama di pulau ini
adalah Sabang dan Balohan. Balohan adalah pelabuhan kapal feri yang bertugas sebagai
penghubung antara pulau Weh dan Banda Aceh di daratan Sumatra. Sabang merupakan
dermaga penting semenjak akhir abad ke-19, karena kota ini merupakan pintu
masuk ke selat Malaka.
Sebelum terusan Suez dibuka tahun
1869, kepulauan Indonesia dicapai melalui Selat Sunda dari Afrika. Dari terusan
Suez, jalur ke Indonesia lebih pendek melalui Selat Malaka. Karena kealamian
pelabuhan dengan air yang dalam dan dilindungi dengan baik, pemerintah Hindia
Belanda memutuskan untuk membuka Sabang sebagai dermaga.
Pada tahun 1883, dermaga Sabang
dibuka untuk kapal berdermaga oleh Asosiasi Atjeh. Awalnya, pelabuhan tersebut
dijadikan pangkalan batubara untuk Angkatan Laut Kerajaan Belanda, tetapi
kemudian juga mengikutsertakan kapal pedagang untuk mengirim barang ekspor dari
Sumatra utara.
Setiap tahunnya, 50.000 kapal
melewati Selat Malaka. Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menyatakan Sabang
sebagai Zona Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk mendapatkan keuntungan
dengan mendirikan pelabuhan tersebut sebagai pusat logistik untuk kapal luar
negeri yang melewati selat itu.Prasarana untuk dermaga, pelabuhan, gudang dan
fasilitas untuk mengisi bahan bakar sedang dikembangkan.
Pulau Weh juga terkenal dengan
ekoturismenya. Menyelam, mendaki gunung berapi dan resor pantai adalah daya
tarik utama dari pulau ini. Desa kecil Iboih, dikenal sebagai lokasi untuk
berenang di bawah laut. Beberapa meter dari Iboih adalah Rubiah, yang dikenal
dengan terumbu karangnya.
Ekosistem
Selama tahun 1997-1999,
Conservation International melakukan survei terhadap terumbu karang di wilayah
tersebut.Menurut survei, keanekaragaman terumbu relatif sedikit, tetapi
keanekaragaman spesies ikan sangat besar. Beberapa spesies ditemukan selama
survey termasuk di antaranya Pogonoperca ocellata, Chaetodon gardneri,
Chaetodon xanthocephalus, Centropyge flavipectoralis, Genicanthus
caudovittatus, Halichoeres cosmetus, Stethojulis albovittatus, Scarus enneacanthus,
Scarus scaber dan Zebrasoma desjardinii.
Pada 13 Maret 2004, spesimen
langka dan tidak biasa dari spesies hiu bermulut besar, terdampar di pantai
Gapang. Hiu bermulut besar memiliki mulut besar yang khas, hidung yang sangat
pendek dan lebar. Spesimen tersebut merupakan penemuan yang ke-21 (beberapa
mengatakan ke-23) dari spesiesnya sejak penemuannya pada tahun 1976. Hiu jantan
yang berukuran panjang 1,7 meter (5,58 kaki) dan memiliki berat 13,82 kg (30,5
pon) yang membeku dikirim ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk
penelitian lebih lanjut. Sampai tahun 2006, hanya terdapat 36 penemuan hiu
bermulut besar di Samudra Pasifik, Hindia, dan Atlantik.
Gempa bumi dan tsunami tahun 2004
memengaruhi ekosistem di pulau tersebut.[16] Di desa Iboih, petak tanaman bakau
yang besar hancur. Puing dari daratan ditumpuk di karang-karang sekitarnya
sebagai akibat tsunami. Pada tahun 2005, sekitar 14.400 bibit bakau ditanam
kembali untuk menyelamatkan hutan bakau tersebut.
Selain daripada ekosistem bawah
laut, pulau Weh merupakan satu-satunya habitat dari spesies katak yang
terancam, bernama Bufo valhallae (genus "Bufo"). Spesies ini hanya
dapat diketahui dari ilustrasi dari pulau ini. Karena penggundulan hutan di
pulau Weh, populasi dari spesies tersebut tidak pasti.